Nexismedia – Dugaan perundungan dan praktik iuran tidak resmi di Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) mengungkap persoalan mendalam: sistem pendidikan kedokteran yang seharusnya berbasis integritas akademik justru dibiarkan berjalan dalam logika transaksional dan relasi kuasa yang menindas.
Sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Negeri Semarang mengungkap fakta bahwa peserta PPDS kerap diminta iuran hingga puluhan juta rupiah oleh seniornya untuk berbagai keperluan yang tidak jelas aturannya, seperti pembayaran ujian atau praktik. Salah satu saksi menyatakan bahwa “kalau tidak bayar, tidak bisa ikut ujian”, meskipun tidak ada dasar resmi dalam regulasi akademik terkait hal tersebut.
Lebih dari sekadar praktik penyimpangan finansial, kasus ini menunjukkan lemahnya sistem evaluasi dan pengawasan internal perguruan tinggi. Alih-alih menilai mahasiswa berdasarkan kemampuan dan etika profesional, sistem justru membuka ruang bagi praktik transaksional dan subordinasi hierarkis yang berbahaya.
Hakim dalam persidangan bahkan menyoroti fenomena junior yang diminta mengerjakan tugas-tugas akademik senior—seperti menyusun jurnal dan laporan medis—yang semestinya menjadi tolok ukur kompetensi individu. Praktik ini menunjukkan bahwa validitas evaluasi dalam pendidikan spesialis rentan dimanipulasi oleh struktur sosial yang tidak sehat.
Mirisnya, sistem ini juga berjalan dalam ruang hampa perlindungan psikologis. Dugaan tekanan mental yang dialami almarhum dr. Aulia, yang sebelumnya melapor soal intimidasi dan permintaan uang dari senior, menunjukkan betapa sistem pendidikan kedokteran belum memiliki mekanisme pengaduan dan perlindungan yang berpihak pada peserta didik.
Sumber: tempo.co | detik.com | news.detik.com
Posting Komentar