Nexismedia –Tradisi Malam 1 Suro yang diperingati setiap awal bulan Muharam dalam kalender Jawa-Islam tak hanya sarat dengan mitos dan ritual adat. Di tengah dinamika zaman, peringatan ini justru menjadi sarana edukasi karakter dan spiritualitas yang kuat bagi generasi muda Jawa.
Dari kirab pusaka di Surakarta, hingga ritual “Mubeng Beteng” yang sunyi di Yogyakarta, makna dari Malam 1 Suro mengajak masyarakat—khususnya kalangan muda—untuk menyelami nilai introspeksi, pengendalian diri, kesetiaan terhadap warisan leluhur, dan pentingnya hidup selaras dengan alam dan sesama.
Beragam kegiatan yang berlangsung di malam ini, seperti tirakatan, tuguran, hingga tapa bisu, bukanlah seremoni tanpa makna. Bagi para orang tua dan tokoh adat, ini adalah ruang pembelajaran. Anak-anak diajak memahami pentingnya ketenangan, menghormati waktu sakral, dan meresapi ajaran budaya Jawa yang menekankan etika serta keheningan sebagai kekuatan batin.
Dalam budaya Jawa, pergantian tahun tidak dirayakan dengan pesta meriah, melainkan dengan merenung. Ini menjadi kontras positif dengan budaya populer saat ini yang kerap menjadikan tahun baru sebagai momentum euforia. Alih-alih hura-hura, Malam 1 Suro mengajarkan pentingnya pengendalian diri dan kontemplasi.
Beberapa sekolah budaya dan komunitas seni di Jawa bahkan menjadikan Malam 1 Suro sebagai bagian dari kurikulum kegiatan luar kelas. Mereka mengajak siswa mengikuti kirab, mengenakan pakaian adat, serta berdiskusi mengenai filosofi Jawa seperti “eling lan waspada” (ingat dan waspada) atau “nrimo ing pandum” (menerima dengan ikhlas). Hal ini menjadi bagian dari transfer nilai dan karakter secara kontekstual.
Tak kalah penting, generasi muda diajak untuk mengenal ulang identitas budaya mereka di tengah globalisasi yang cepat. Dengan pendekatan yang merakyat, tradisi ini justru menciptakan ruang edukasi spiritual yang dekat dengan rakyat, tanpa harus bersifat eksklusif atau terbatas
Sumber: kompas.com | antaranews.com | indonesiakaya.com
Posting Komentar