![]() |
Foto: Unsplash/ Irfan Bayuaji |
Nexismedia – Berdiri megah di jantung Kota Semarang, Lawang Sewu tak hanya menjadi ikon arsitektur kolonial, tetapi juga saksi bisu perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Lebih dari sekadar bangunan yang dikenal angker, Lawang Sewu menyimpan makna mendalam sebagai ruang perlawanan, tempat penyiksaan, sekaligus simbol kebangkitan dan pelestarian warisan budaya.
Bangunan ini didirikan pada awal abad ke-20 oleh perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial Belanda. Arsitekturnya khas gaya Eropa tropis dengan pintu dan jendela tinggi menjulang yang menciptakan ilusi “seribu pintu”. Bagi masyarakat Semarang, kehadiran bangunan ini telah lama menjadi bagian dari lanskap kota, baik secara visual maupun historis.
Namun, di balik kemegahan arsitekturnya, Lawang Sewu menyimpan sisi kelam sejarah. Saat pendudukan Jepang, ruang bawah tanah di kompleks bangunan ini diubah menjadi penjara dan tempat interogasi. Para tahanan, termasuk para pemuda yang memperjuangkan kemerdekaan, banyak yang mengalami penyiksaan bahkan eksekusi. Tragedi inilah yang kemudian menjadi latar penting dalam peristiwa heroik Pertempuran Lima Hari di Semarang pasca-Proklamasi.
Kini, Lawang Sewu telah bertransformasi. Dari bangunan yang sempat terbengkalai dan identik dengan cerita horor, tempat ini berubah menjadi museum sejarah perkeretaapian dan ruang edukasi publik. Di dalamnya terdapat pameran arsip, replika lokomotif, dokumentasi sejarah perjuangan, serta informasi mengenai perkembangan transportasi di era kolonial hingga kemerdekaan.
Transformasi ini turut mengubah persepsi publik. Jika dulunya Lawang Sewu dikaitkan dengan hal-hal mistis, kini semakin banyak masyarakat—khususnya pelajar dan wisatawan—yang datang untuk belajar sejarah dan mengapresiasi warisan budaya. Pemerintah daerah dan pengelola wisata pun mendorong pemanfaatan Lawang Sewu sebagai bagian dari identitas budaya kota Semarang yang modern, bersejarah, dan inklusif.
Lebih dari sekadar destinasi wisata, Lawang Sewu adalah ruang memori. Ia mengingatkan bahwa sejarah tidak hanya untuk dikenang, tetapi juga untuk dimaknai kembali sebagai pijakan dalam membangun masa depan.
Sumber: kumparan.com | kompas.com | bobobox.com
Posting Komentar